Monday, April 30, 2007

Hidup adalah Intimidasi

Hidup adalah intimidasi. Jadi kayak judul-judul puisi anak filsafat semester satu. Tapi, nggak apa-apa lah bikin judul blog yang ngampung. Judul kayak gitu ada alasannya gue bikin. Gue merasa kadang orang dan itu termasuk gue banget banget baru termotivasi untuk melakukan sesuatu ketika dia diintimidasi, atau setidaknya merasa diintimidasi. Nah, maaf yah kalau novel gue ini gue bikin karena alasan intimidasi.

Jujur aja, nggak ada yang bikin sesuatu tanpa ada motivasi. Motivasi gue banyak dan gue egois untuk urusan ini. Novel ini gue bikin biar bisa dapat duit dari royalti dari penjualan. Itu satu hal. Hal lain adalah biar penulis kayak Nova Riyanti Yusuf, Andrei Aksana, Sekar Ayu Asmara, dan bahkan penyair macam Taufiq Ismail ke laut aja buat ngumpulin plastik-plastik sampah dan bekas botol aqua yang dibuangin orang sembarangan. Mereka nulisnya kacrut tapi gayanya kayak maestro. Banyak penulis yang gue hormatin macam Eka Kurniawan, Danarto, Ayu Utami, NH Dini (benci tulisannya, tapi karena gue bisa benci secara unik gue salut ama dia) Djenar Maesa Ayu (suka cerpennya, belum baca novelnya), Mochtar Lubis. Yang gayanya macem-macem paling cuma si Djenar, tapi dia buktikan lewat tulisannya yang oke. Dewi Lestari kadang mau muntah liat gayanya dan terutama mual-mual denger lagu-lagunya waktu masih di RSD, tapi setidaknya tulisan dia masih tergolong lumayan.

Alasan-alasan gue di paragraf tadi masih belum mengintimidasi gue. Kalimat-kalimat tadi nggak jamin gue bisa bikin tulisan yang layak terbit. Intimidasi berlangsung pertama kali ketika ada satu penulis yang waktu gue baca draft-nya gue hanya ketawa karena si penulis bangga dengan gaya surealismenya, sedangkan dalam hati gue bilang itu hanya tulisan racauan yang nggak jelas arahnya. Surealisme emang tulisan yang diangkat dari bawah sadar, tapi bukan berarti ungkapannya diracaukan begitu saja. Ngigo beda sama lucid dreaming. Dan, intimidasi terjadi ketika draft-nya malah bakal diterbitin jadi novel. Well, good luck for him!

Tapi, tetap saja itu belum jadi indimidasi utama. Sampai detik ini gue masih takjub sama Y The Last Man. Itu komik, tapi kenapa metode penulisannya bisa sekuat itu melebihi nyaris kebanyakan novel di Indonesia yang katanya lebih sastra. Gue masih juga takjub sama film-filmnya Jodorowsky, film 8 1/2, dan serial X-Files. Belum lagi gue terkaget-kaget waktu baca buku-bukunya Chuck Palahniuk. Belum lagi tulisannya Edgar Alan Poe. Kurang ajar, mereka semua curi start jadi bisa bikin tulisan sehebat itu! Belum lagi komik-komiknya Alan Moore yang sepertinya untuk penulis masa kini, baik penulis tv atau buku, haram hukumnya kalau nggak pakai metode tulisan ala Moore.

Terus gimana nasib novel gue? Gue lagi dapet ide sebanyak-banyaknya tapi kenapa semua ide itu enakan masuk di tengah. Terpaksa deh gue tulisin dan ninggalin sebentar bagian depan. Bikin depan emang paling berat. Lumayan lah tulisannya jadi nambah-nambah banyak walau belum ada bentuk. Dibaca sekarang juga nggak ada yang ngerti hehehe.

1 comment:

Rhama Arya Wibawa said...

He he, we shared an almost similar contempt to our prolific writers. Kalo gw beda, demi membaca karya-karya edun kaya Y the Last Man, Chuck Palahniuk, atau Alan Moore, gw jadi urung buat nulis novel.. intimidasi di gw ga bisa tumbuh jadi motivasi :) Good luck, man, gw tunggu novel lu buat gw cela-cela

Salam, arya199