Ada waktu untuk seorang manusia untuk berubah. Dalam waktu satu dua minggu belakangan ini, yang ada di benak saya adalah soal tempat kerja baru saya. Selalu terngiang di kepala bagaimana aura di tempat baru nantinya ini. Semua baru bayangan. Kalau masih di bayangan kadang jadinya sama dengan sebuah pertanyaan, dan pertanyaan itu baru terjawab ketika hari yang dinanti-nanti itu tiba.
Pagi ini saya bangun sesuai dengan rencana. Agak sulit untuk bangun pagi lantaran saya terbiasa bangun di atas jam 9. Waktu yang mungkin orang-orang kantoran lain sudah berada di awal rutinitas mereka. Rutinitas yang bahkan terasa sangat menyebalkan. Hari ini saya membiarkan diri saya lepas dari kebiasaan lama, bersantai-santai saat orang lain sudah mulai banting tulang. Saya merelakan diri saya untuk berkeringat bersama orang-orang itu, meski berkepentingan beda.
Kadang dalam sebuah momen, sebuah detik-detik menuju momen itu lebih memiliki rasa ketimbang momen itu sendiri. Orang menjadi tegang saat hari-hari menuju ujian atau sidang skripsi misalnya. Ketika sedang menjalani sidang itu sendiri, kadang malah tidak setegang penantiannya. Mungkin tidak setegang waktu saya hendak disunat atau hendak operasi gigi. Namun, yang namanya tegang yah tetap saja tegang.
Baru melangkah beberapa meter dari rumah, saya secara tiba-tiba mengambil keputusan untuk kembali ke rumah. Saya seketika itu juga merasa grogi dan takut hingga memutuskan untuk tidak ke kantor yang bertempat di Warung Jati tersebut. Saya bohong. Saya memang terpaksa pulang lagi, tapi bukan lantaran keputusan bodoh tersebut. Mungkin jika ini saya sepuluh tahun lalu, bisa saja kejadian seperti itu yang terjadi. Saya terpaksa pulang karena dompet saya ketinggalan.
Keputusan mengambil dompet di rumah sebenarnya punya sedikit makna. Saya bukan orang yang terlalu tergantung dengan apa yang jadi milik saya. Tidak seperti kebanyakan orang, saya bukan tipe orang yang panik kalau mendadak sadar telpon genggamnya tertinggal. Tapi, hari ini berbeda. Saya merasa bahwa ada hal yang mesti dipikirkan lebih dari sekadar membiarkan benda-benda yang bisa penting itu dibiarkan tertinggal. Sebuah dompet yang tertinggal bisa menimbulkan berbagai masalah ke depan. Tidak tahu masalah apa, tapi setidaknya masalah-masalah itu bisa dihindari dengan tidak dibiarkan di rumah saja.
Setelah saya mengambil dompet itu, saya menunggu bis di halte. Sudah terlalu lama saya terakhir melakukan ini di tempat tersebut. Terakhir sekali saya rutin melakukan ritual menunggu bis sebelum jam tujuh pagi adalah ketika saya masih SMA. Meski sudah lama berlalu, ternyata pemandangannya sama saja. Wajah-wajah itu sama, wajah-wajah menanti apa yang akan terjadi pada diri mereka hari ini. Apakah akan ada keuntungan besar atau justru musibah yang menimpa. Orang-orangnya tentu berbeda. Tapi ekspresi-ekspresi itu tetaplah sama.
Ekspresi itu juga masih memendar ketika saya berada di dalam bis. Semua wajah memiliki ekspresi itu, meski status dan pekerjaannya masing-masing berbeda. Tapi, lama kelamaan saya tidak lagi memperhatikan wajah itu. Justru kini saya merasa harus mencari cermin dan melihat apa yang terpancar di wajah saya. Saya merasa ada yang berubah. Pekerjaan jelas bakal berubah. Tempat kerja juga pasti tidak akan sama lagi. Selain itu juga saya merasakan sensasi yang berbeda. Ini bukan lagi soal tempat baru, suasana baru, teman-teman baru. Ini adalah sebuah jalan yang baru!
Saya percaya bahwa setiap manusia itu memiliki jalan. Tapi, bukan berarti segala sesuatunya sudah diatur dengan ajeg. Setiap manusia punya andil dalam mengisi perjalanan itu. Di satu sisi mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan, tapi mereka bisa meraba-rabanya. Sensasi yang sama seperti yang saya rasakan saat ini. Saya tidak tahu masa depan saya, tapi saya bisa mereka-reka. Kalau perlu, saya yang nanti menentukan jalan itu berdasarkan rekaan-rekaan itu.
kembali ke ngatas
1 comment:
tes tis tes tis
Post a Comment